Baca juga – Pemerintah Wacanakan Kenaikan Pajak Kendaraan BBM
1. Harga Acuan Produk (MOPS), Bukan Sekadar Minyak Mentah
Faktor pertama dan yang paling berpengaruh adalah harga acuan produk minyak olahan, bukan harga minyak mentah (crude oil) semata. Patokan yang digunakan oleh Pertamina adalah MOPS (Means of Platts Singapore), yaitu harga rata-rata produk BBM di pasar Singapura yang menjadi barometer untuk seluruh kawasan Asia.
Analogi sederhananya, seorang penjual roti tidak menetapkan harga rotinya berdasarkan harga gandum, melainkan berdasarkan harga tepung terigu. Minyak mentah adalah “gandum”, sedangkan produk seperti bensin (Pertamax) atau solar (Dexlite) adalah “tepungnya”. MOPS adalah harga “tepung” tersebut.
Pengamat ekonomi energi, Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, sering menekankan pentingnya MOPS. “MOPS menjadi acuan utama karena mencerminkan harga riil produk jadi di pasar regional. Penting untuk diingat, MOPS untuk bensin dan MOPS untuk gasoil (solar) itu berbeda. Inilah yang menjelaskan kenapa harga Pertamax bisa naik sementara harga Dexlite turun pada saat yang bersamaan,” jelasnya dalam sebuah wawancara dengan CNBC Indonesia.
2. ‘Denyut Nadi’ Kurs Rupiah Terhadap Dolar AS
Faktor kedua yang sangat krusial adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Semua transaksi MOPS dan pembelian minyak mentah di pasar internasional dilakukan dalam Dolar AS. Artinya, meskipun harga MOPS di pasar global sedang stabil atau bahkan turun, jika nilai tukar Rupiah melemah, maka biaya yang harus dikeluarkan Pertamina dalam Rupiah untuk membeli produk tersebut akan tetap meningkat.
Misalnya, jika harga satu barel produk adalah $100. Saat kurs Rp15.000 per dolar, biayanya adalah Rp1.500.000. Namun, jika kurs melemah menjadi Rp16.000 per dolar, biaya untuk produk yang sama melonjak menjadi Rp1.600.000. Pelemahan kurs inilah yang seringkali menjadi “biang keladi” kenaikan harga BBM di dalam negeri meskipun harga minyak dunia sedang landai.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menegaskan dampak signifikan dari kurs. “Setiap pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS akan secara langsung memberikan tekanan pada biaya impor energi, termasuk BBM. Stabilitas nilai tukar menjadi salah satu kunci dalam menjaga stabilitas harga energi di tingkat konsumen,” paparnya dalam sebuah analisis untuk Bisnis.com.
3. Komponen Pajak yang ‘Tersembunyi’ di Setiap Liter
Inilah faktor “rahasia” yang seringkali tidak disadari oleh konsumen. Harga yang Anda bayar di SPBU sudah termasuk beberapa komponen pajak yang dipungut oleh pemerintah. Dua pajak utamanya adalah:
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, yang saat ini tarifnya adalah 11%.
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB): Ini adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi. Besarannya bervariasi antar daerah, umumnya berkisar antara 5% hingga 10%. Perbedaan tarif PBBKB inilah yang menyebabkan harga BBM di satu provinsi bisa sedikit berbeda dengan provinsi lain.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Barat, Dedi Taufik, menjelaskan peran PBBKB. “Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang vital. Pendapatan dari pajak ini digunakan kembali untuk pembangunan infrastruktur di daerah, seperti perbaikan jalan,” ujarnya dalam keterangan resmi di situs Bapenda Jabar.
4. Biaya Operasional dari Kilang hingga ke Pom Bensin
Faktor terakhir adalah biaya operasional yang harus ditanggung Pertamina untuk memastikan BBM sampai ke kendaraan Anda. Rangkaian biaya tersebut mencakup biaya pengadaan (impor atau produksi di kilang dalam negeri), biaya penyimpanan di terminal-terminal BBM, biaya transportasi dan distribusi menggunakan kapal tanker dan truk tangki, hingga margin keuntungan bagi Pertamina dan bagi para pengusaha SPBU. Semua komponen biaya tersebut kemudian dijumlahkan untuk membentuk Harga Jual Eceran (HJE) yang kita lihat.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, membenarkan kompleksitas tersebut. “Harga BBM Pertamina mempertimbangkan berbagai aspek, agar tetap dapat menjamin keberlangsungan penyediaan dan penyaluran BBM hingga ke seluruh pelosok Tanah Air,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Dengan memahami keempat faktor tersebut, kini kita bisa melihat bahwa perubahan harga BBM bukanlah keputusan sepihak yang sederhana. Ada sebuah mekanisme pasar global dan kebijakan domestik yang rumit di baliknya. Dijamin paham, kan?
Baca juga – Bareskrim Gerebek Sindikat BBM Subsidi, Rugi Negara Tembus Rp84,5 Miliar!

