Badai PHK Hantam Indonesia di Sektor Manufaktur, Ini Pemicunya

sekitarbandungcom –  Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kalim membaik  walau dalam tekanan efek domino perang dan pandemi Covid-19, Namun faktanya, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) malah melanda Negara Pancasila ini. Khususnya pada sektor manufaktur RI karena tekanan dari tidak stabilnya ekonomi global.

Seperti yang dilansir CNBC Indonesia, Di mana perekonomian global terancam mengalami resesi, yang membuat banyak permintaan beberapa barang ekspor RI mengalami penurunan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani melihat data pekerja yang mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) menunjukan tingginya angka PHK di Indonesia saat ini.

“BPJS Ketenagakerjaan mencatat telah terjadi PHK terhadap 919.071 pekerja yang mencairkan dana JHT (Jaminan Hari Tua) akibat PHK dari Januari-1 November 2022. Dengan masih tersisa dua bulan dari data itu, maka bisa jadi tembus 1 juta orang yang cairkan JHT,” kata Hadiyadi, dikutip Senin (25/12/2022).

Data tersebut merupakan data yang paling memadai sebagai sumber informasi yang valid mengingat setiap Pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terkena PHK berkepentingan menarik dana JHT-nya, dibandingkan data PHK di Kementerian/Lembaga lainnya yang bersumber dari laporan perusahaan dimana banyak perusahaan tidak melaporkannya.

Hariyadi juga mengungkapkan jika dibandingkan tahun sebelumnya tercatat PHK yang terjadi pada 2019 lalu mencapai 376.456, bertambah pada 2020 menjadi 679.678, dan kini mencapai 922.756 pada 2021.

Industri Tekstil Paling Banyak

Industri tekstil dan produk tekstil menjadi pertama yang menderita akibat perlambatan ekonomi global.

Bahkan produksi pabrik TPT terus menurun hingga 50%, yang diproyeksi juga berlanjut sampai 2023 mendatang.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan saat ini sudah ada lebih dari 100 ribu buruh tekstil yang terkena pemangkasan. Bahkan angka itu diprediksi bisa lebih besar lagi jika memperhitungkan tenaga penjahit industri kecil dan skala mikro.

“Kalau kondisi ini tidak segera diantisipasi pemerintah, bisa sampai 500 ribu orang di kuartal pertama tahun 2023 yang kena pengurangan. Tapi pemerintah nggak percaya,” kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip (26/12/2022).

“Sekarang ini sudah ada sekitar 20 perusahaan garmen juga serat yang tutup. Mereka nggak lapor karena nanti akan disuruh bayar pesangon kalau PHK. Ada yang punya karyawan 1.000, disuruh masuk bergantian, ya cuma bersih-bersih pabrik, ngecat,” tambahnya.

Pabrik-pabrik itu, ungkapnya, korban anjloknya order di pasar ekspor. Hingga menyebabkan penurunan produksi, dan perlahan harus menghentikan operasional.

“Mereka sambil nunggu angin. Kalau ada sinyal bagus, ada order lagi, jalan lagi. Buruh yang tadinya dirumahkan, kalau belum bekerja, bisa dipanggil lagi. Yang jelas, ada pengurangan karyawan, ada pabrik tutup, berlanjut sampai sekarang,” katanya.

Biang Kerok PHK Massal

Redma mengatakan perlambatan ekspor membuat utilisasi pabrik menurun. Konsumsi di pasar-pasar tujuan ekspor utama, seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) melambat hingga menyebabkan stok menumpuk. 

Akibatnya, order dari kedua negara itu pun dilaporkan anjlok, bahkan ada yang sampai 50%. Ini mendorong pengusaha melakukan efisiensi dengan merampingkan karyawan alias PHK.

Selain itu juga ada efek domino dari gempuran produk impor dari dalam negeri. Yang  menambah beban bagi industri di dalam negeri, kalah bersaing, hingga berakibat produksi anjlok.

Sehingga tak terelakkan efisiensi harus dilakukan. Bahkan ada beberapa modus yang dijalankan perusahaan seperti pengurangan jam kerja, merumahkan karyawan, hingga menggilir karyawan masuk.

“PHK masih terus berlanjut, tapi pemerintah nggak percaya. Awalnya ada yang jam kerja dipangkas, tadinya 6 hari dikurangi jadi 4 hari, mereka di-rolling. Lalu, ada yang dirumahkan, upahnya dibayar 20%. Kemudian terminate (putus/ tidak diperpanjang) kontrak, lalu PHK,” kata Redma

Bahkan setidaknya ada 20 perusahaan garmen juga serat yang tutup, namun tidak melapor kepada pemerintah maupun asosiasi supaya tidak membayar pesangon karyawan yang di PHK.

“Ada yang punya karyawan 1.000 disuruh masuk bergantian, ya cuma bersih-bersih pabrik, ngecat,” katanya.

“Mereka sambil nunggu angin. Kalau ada sinyal bagus, ada order lagi, jalan lagi. Buruh yang tadinya dirumahkan, kalau belum bekerja, bisa dipanggil lagi. Intinya, ada pengurangan karyawan, ada pabrik tutup, berlanjut sampai sekarang,” tambahnya.

Potensi Berlanjut

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkapkan situasi dunia kian memburuk dan dikhawatirkan akan memukul perekonomian dalam negeri yang berujung pada pada PHK.

“Tekanan capital outflow, depresiasi nilai rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan PHK menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi,” jelasnya.

Kekhawatiran Airlangga bersumber dari beberapa faktor. Pemburukan dari dampak Pandemi Covid-19 terhadap perekonomian yang belum berakhir ini menurutnya semakin diperparah dengan lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial.

Airlangga bahkan berpendapat, ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini juga telah menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna, the perfect storm, sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada 2023.

Pertumbuhan ekonomi global untuk 2022 kata dia akan berada pada rentang 2,8-3,2%. Lalu semakin menurut pada 2023 menjadi di kisaran 2,2-2,7% dari perkiraan awal berada di kisaran 2,9-3,3%.

Sinyal pelemahan ekonomi global ini juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers’ Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada November 2022, setelah pada bulan sebelumnya tercatat pada posisi 49,9.

Sejumlah negara di dunia yang terlihat masih mengalami kontraksi PMI pada November di antaranya China (49,4), Inggris (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2).

Meski begitu, pertumbuhan seluruh sektor manufaktur ASEAN pada November 2022 tetap terjaga di level optimis, yakni di posisi 50,7. Ditopang indeks di Singapura (56,0), Filipina (52,7), Thailand (51,1), dan Indonesia (50,3). Sedangkan Malaysia sudah di level pesimistis atau di bawah 50 (47,9), bersama Vietnam (47,4) dan juga Myanmar (44,6).

sumber berita : CNBC INDONESIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *