sekitarBANDUNGcom – Surat cinta untuk Inggit Garnasih? Pelajaran sejarah seringkali identik dengan deretan nama, tanggal, dan peristiwa yang wajib dihafal. Bagi siswa sekolah dasar, metode konvensional tersebut tak jarang membuat sejarah terasa berjarak, kering, dan membosankan. Namun, sebuah terobosan pembelajaran yang hangat dan kreatif datang dari salah satu sekolah dasar di Kota Bandung, yang berhasil membuktikan bahwa sejarah bisa diajarkan dengan cara yang menyentuh hati.
Dalam sebuah inisiatif unik untuk memperingati Hari Pahlawan, para siswa SDN 143 Kopo diberi tugas yang tidak biasa: menulis “surat cinta” untuk Inggit Garnasih, sosok perempuan tangguh asal Priangan yang merupakan istri kedua sekaligus penyokong utama perjuangan Bung Karno di masa-masa paling krusial. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Surat-surat yang ditulis dengan tulisan tangan yang polos tersebut berisi pemahaman dan empati yang mendalam, seolah mereka benar-benar mengenal sosok yang mereka sapa sebagai “Ibu Inggit”.
Inisiatif ini menuai pujian dari berbagai kalangan. Berikut adalah lima kutipan paling manis dari surat-surat tersebut, yang masing-masing merefleksikan pemahaman anak-anak tentang nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh sang pahlawan wanita.
Menulis surat cinta untuk “ibu Inggih” secara tidak langsung mendidik karakter anak agar selalu ingat akan sejarah, berikut kunci untuk medidik karakter anak – Pendidikan Karakter untuk Anak Bandung, Ini Kuncinya!
1. Kutipan tentang Kesetiaan: “Ibu Hebat, Selalu Menemani Walau Susah”
Banyak siswa terkesan dengan kisah kesetiaan Inggit Garnasih yang tanpa pamrih. Ia adalah sosok yang setia mendampingi Soekarno tidak hanya di masa-masa pergerakan di Bandung, tetapi juga di masa-masa pembuangan yang paling sulit di Ende dan Bengkulu.
Seorang siswi bernama Aira (Kelas 4) menulis:
“Untuk Ibu Inggit tersayang, terima kasih sudah mau menemani Bapak Soekarno waktu dibuang ke Ende. Kalau aku, mungkin aku sudah menangis terus. Ibu hebat karena tidak takut dan tidak meninggalkan Bapak sendirian.”
Kutipan sederhana tersebut menangkap esensi dari peran Inggit yang luar biasa. Ia bukan hanya seorang istri, tetapi juga sahabat seperjuangan. Sejarawan JJ Rizal dalam sebuah kesempatan menekankan peran penting Inggit Garnasih pada periode tersebut. “Inggit adalah benteng emosional bagi Soekarno selama di pembuangan. Di saat Soekarno merasa terpuruk dan terisolasi, Inggit-lah yang menjaga api semangatnya agar tidak pernah padam. Tanpa dukungan mental dari Inggit, mungkin sejarah akan sedikit berbeda,” jelasnya.
2. Kutipan tentang Pengorbanan: “Katanya Ibu Jual Bedak Buat Perjuangan ya?”
Fakta sejarah bahwa Inggit Garnasih secara mandiri menopang ekonomi rumah tangga dan bahkan membiayai perjuangan Soekarno dengan berjualan jamu, bedak, hingga menjadi agen properti, ternyata sangat membekas di benak para siswa.
Seorang siswa bernama Bima (Kelas 5) menulis:
“Kata Bu Guru, Ibu Inggit sampai jual jamu dan bedak buat biayai Bapak Soekarno sekolah dan berjuang. Uangnya pasti banyak. Ibu tidak sayang sama uangnya? Terima kasih ya Bu, uangnya dipakai buat kemerdekaan Indonesia.”
Pertanyaan polos “Ibu tidak sayang sama uangnya?” menunjukkan betapa besarnya pengorbanan Inggit dari sudut pandang seorang anak. Ia rela mengorbankan harta pribadinya demi sebuah cita-cita yang lebih besar: kemerdekaan bangsanya. Pengorbanan tersebut adalah fondasi finansial dari pergerakan Soekarno di masa-masa awal.
3. Kutipan tentang Kekuatan: “Di Belakang Bapak Hebat, Ada Ibu yang Lebih Hebat”
Para siswa mampu melihat melampaui citra Inggit Garnasih sebagai sekadar “istri Soekarno”. Mereka menangkap perannya sebagai sumber kekuatan dan inspirasi.
Seorang siswi bernama Keysha (Kelas 4) menulis:
“Aku baru tahu kalau di belakang Bapak Presiden yang hebat, ada Ibu Inggit yang lebih hebat. Ibu yang kasih semangat terus dan tidak pernah marah. Seperti mamahku di rumah yang selalu mendukung aku.”
Surat tersebut adalah sebuah pengakuan tulus akan peran perempuan yang seringkali tak tercatat dalam sejarah formal. Inggit Garnasih bukan hanya pendamping pasif; ia adalah partner diskusi, pembaca pertama naskah-naskah pledoi Soekarno, dan benteng pertahanan yang paling kokoh.
Dewi Motik, seorang aktivis perempuan, sering menyuarakan pentingnya mengakui peran perempuan di balik layar sejarah. “Sejarah Indonesia penuh dengan sosok-sosok perempuan kuat seperti Inggit Garnasih yang perannya sangat krusial namun seringkali hanya menjadi ‘catatan kaki’. Mengajarkan kisah mereka kepada generasi muda adalah cara kita membangun bangsa yang menghargai kesetaraan,” ujarnya.
4. Kutipan tentang Keikhlasan: “Ibu Sedih Tidak Waktu Bapak Pergi?”
Kisah perpisahan antara Inggit Garnasih dan Soekarno adalah bagian yang paling kompleks dan emosional. Para siswa ternyata mampu menyentuh aspek tersebut dengan kepekaan yang luar biasa.
Seorang siswa bernama Farel (Kelas 5) bertanya dalam suratnya:
“Ibu Inggit, aku baca ceritanya. Ibu sedih tidak waktu Bapak Soekarno pergi? Kata Bu Guru, Ibu ikhlas. Ikhlas itu susah, tapi Ibu bisa. Ibu baik sekali.”
Surat tersebut menunjukkan pemahaman tentang konsep keikhlasan yang mendalam. Inggit Garnasih memilih untuk berpisah secara terhormat daripada harus dimadu, sebuah keputusan yang menunjukkan prinsip dan martabatnya yang tinggi. Keikhlasannya melepaskan Soekarno, yang ia yakini akan menjadi pemimpin besar, adalah puncak dari pengorbanannya.
5. Kutipan tentang Kebanggaan Bandung: “Ibu Inggit Mojang Bandung Pisan!”
Fakta bahwa Inggit Garnasih adalah seorang perempuan asli Bandung ternyata menciptakan ikatan emosional yang kuat bagi para siswa.
Seorang siswa bernama Rian (Kelas 4) menulis dengan bangga:
“Aku bangga Ibu Inggit orang Bandung, sama kayak aku. Kata ayah, Ibu Inggit itu ‘mojang Bandung pisan’, kuat dan tidak cengeng. Aku juga mau jadi orang hebat dari Bandung kayak Ibu.”
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana sosok pahlawan lokal dapat menjadi panutan (role model) yang sangat efektif dan relevan. Inggit, dengan segala ketegaran dan prinsipnya, adalah representasi dari karakter mojang Priangan yang luhur. Rumah bersejarahnya di Jalan Inggit Garnasih, Bandung, kini menjadi monumen abadi dari kisah hidupnya yang luar biasa.
Sejarah yang Hidup di Hati Anak-Anak
Inisiatif “Surat Cinta untuk Inggit Garnasih” ini membuktikan bahwa sejarah tidak harus diajarkan sebagai materi hafalan yang mati. Ketika disajikan dengan cara yang menyentuh emosi dan relevan dengan dunia mereka, anak-anak mampu menarik nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, pengorbanan, dan kekuatan karakter dari para pahlawannya. Mereka tidak hanya tahu, tetapi mereka juga merasa terhubung dan terinspirasi.
Baca juga – Program Pendidikan Pemkot Bandung 2025 Penuh Inovasi dan Peluang Baru

