sekitarBANDUNGcom – Berangkat dari kekhawatiran akan berkurangnya penutur bahasa daerah khususnya Bahasa Sunda, sejumlah Mahasiswa Universitas Padjadjaran telah melakukan riset mengenai eksistensi bahasa Sunda pada keluarga Amalgamasi atau yang menikah antar suku, dalam hal ini kita meneliti keluarga yang menikah antara suku Sunda dan Jawa.
Hal tersebut dilatarbelakangi karena Jawa dan Sunda merupakan suku terbesar di Indonesia. Etnoparenting Sunda merupakan sebutan bagi tim ini yang terdiri dari beberapa fakultas rumpun sosial humaniora, yaitu Ikmalludin (Ilmu Budaya), Henhen Hendayeni (Imu Budaya), Salman Ramdani Rachman (Ilmu Sosial Ilmu Politik), Salsabil Qodrunnada (Ilmu Hukum), dan Shelpi Nur Awaliyah (Ilmu Komunikasi) yang dibimbing oleh Dr. Taufik Ampera, M. Hum. Tim ini masuk dalam skema Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM RSH) yang mendapatkan pendanaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun ini.
“Riset ini menguji efektivitas Etnoparenting (Pengasuhan berbasis budaya) dan Literasi Budaya (Pemahaman seseorang dalam memposisikan dirinya sebagai bagian dari Indonesia yang beragam) dalam mempertahankan vitalitas Bahasa Sunda di Kota Bandung. Kenapa kota Bandung? Karena kami merasa bahwa Bandung merupakan kota besar di Jawa Barat dengan mobilisasi tinggi, dimana perputaran budaya dan ekonomi kerap terjadi.” Ucap Ikmalludin.
Penelitian ini menemukan sebuah hasil yang mengecewakan. Dimana ternyata dalam penggunaan bahasa daerah (khususnya Bahasa Sunda), ternyata keterlibatan keluarga itu sangat kecil. Sehingga sang anak belajar dan berlatih kemampuan berbahasa daerahnya di lingkungan sekitar, seperti lingkungan rumah dan sekolah.
Adapun metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah campuran atau dikenal juga dengan mixed methods dengan kuota sampling sebagai teknik pemilihan sampelnya. Terdapat beberapa kriteria yang harus dimiliki sebelum orang tersebut menjadi infrorman pada penelitian ini, yaitu menikah antara dua suku berbeda dalam hal ini suku Sunda dan Jawa, memiliki anak yang telah menyenyam pendidikan formal minimal Sekolah Dasar (SD), dan tentunya berdomisili di Kota Bandung.
“Sebetulnya, jika dibandingkan dengan pernikahan Suku Sunda dengan Suku lain pun seperti misalnya Batak terdapat beberapa persamaan. Hanya saja, mungkin perbedaannya bisa dilihat dari segi naming, misalnya dalam penamaan anak. Namun untuk penggunaan bahasa di keluarga kebanyakan netral alias menggunakan Bahasa Indonesia.” Ucap Pak Taufik Ampera.