Pengungkapan tersebut memicu kemarahan publik dan menyorot sebuah skandal memalukan dalam pengelolaan uang rakyat. Berikut adalah tiga alokasi anggaran paling konyol dan tidak produktif yang menjadi biang keladi dari masalah ini.
Baca juga – Bandung Tanpa Tunggakan BPJS, Anggaran Kesehatan Capai Rp290 Miliar per Tahun
1. Ratusan Miliar untuk Rapat Koordinasi Kemiskinan di Hotel Mewah
Alokasi pertama yang paling ironis adalah penggunaan dana anggaran kemiskinan untuk menyelenggarakan rapat-rapat koordinasi tentang kemiskinan di hotel-hotel mewah. Berbagai kementerian dan pemerintah daerah dilaporkan menghabiskan sebagian besar dari anggaran kemiskinan mereka untuk kegiatan seremonial seperti seminar, lokakarya, dan rapat teknis yang digelar di hotel berbintang empat atau lima.
Biaya yang dihabiskan untuk satu acara semacam itu bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, mencakup sewa ruang pertemuan, konsumsi, coffee break, dan yang paling signifikan, honorarium serta biaya perjalanan dinas (per diem) bagi para pesertanya. Sementara para birokrat mendiskusikan strategi pengentasan kemiskinan di ruangan ber-AC yang nyaman, dana yang seharusnya bisa menjadi bantuan langsung tunai atau program padat karya bagi si miskin justru habis untuk membiayai kemewahan birokrasi.
Menteri PAN-RB, Abdullah Azwar Anas, adalah orang yang pertama kali membongkar praktik ini ke publik. “Hampir Rp 500 triliun anggaran kita untuk kemiskinan, tetapi itu tidak in line dengan target sasaran. Banyak terserap di program-program seperti rapat dan studi banding kemiskinan. Ini ironis, program kemiskinan tapi rapatnya di hotel bintang lima,” ujar Anas dalam sebuah acara yang diliput oleh Kompas.com.
2. “Jalan-Jalan” Berkedok Studi Banding Pengentasan Kemiskinan
Alokasi kedua “anggaran kemiskinan” yang tak kalah janggal adalah program studi banding, baik di dalam maupun luar negeri, yang menggunakan anggaran kemiskinan. Dengan dalih untuk mempelajari praktik-praktik terbaik dalam mengentaskan kemiskinan di daerah atau negara lain, para pejabat menghabiskan dana yang signifikan untuk perjalanan dinas. Namun, efektivitas dan hasil nyata dari kegiatan “belajar” tersebut seringkali sangat diragukan.
Publik mempertanyakan relevansi dari studi banding kemiskinan ke negara-negara maju yang konteks sosial dan ekonominya sangat berbeda dengan Indonesia. Seringkali, perjalanan tersebut tidak menghasilkan kebijakan baru yang konkret dan inovatif, melainkan hanya laporan perjalanan yang berakhir di laci meja. Praktik ini dipandang sebagai pemborosan yang dilegalkan, sebuah cara untuk menghabiskan anggaran sambil berwisata.
Uchok Sky Khadafi, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), secara tegas mengkritik praktik tersebut. “Studi banding, terutama ke luar negeri, untuk isu kemiskinan domestik adalah sebuah pemborosan yang nyata. Seharusnya anggaran tersebut dialihkan untuk program pemberdayaan langsung di desa-desa miskin. Ini menunjukkan betapa birokrasi kita tidak memiliki sense of crisis (kepekaan terhadap krisis),” katanya.
3. Proyek Aplikasi Digital yang Mubazir dan Tumpang Tindih
Di era digital, solusi berbasis teknologi sering dianggap sebagai jalan keluar yang modern. Namun, tanpa perencanaan dan interoperabilitas yang matang, hal tersebut justru menciptakan lubang pemborosan baru. Alokasi konyol ketiga adalah pembuatan puluhan aplikasi dan situs web penanggulangan kemiskinan yang saling tumpang tindih antar lembaga.
Setiap kementerian atau pemerintah daerah seolah berlomba-lomba membuat platform digitalnya sendiri untuk pendataan, penyaluran bantuan, atau pelaporan. Akibatnya, lahir puluhan aplikasi yang tidak terintegrasi, memiliki data yang berbeda-beda, dan seringkali tidak ramah pengguna sehingga jarang dimanfaatkan. Miliaran rupiah dari anggaran kemiskinan dihabiskan untuk biaya pengembangan dan pemeliharaan aplikasi-aplikasi yang pada akhirnya tidak efektif dan hanya menjadi proyek formalitas.
Pakar kebijakan digital, Dr. Agung Harsoyo, menyoroti masalah silo dalam pemerintahan. “Fenomena satu instansi, satu aplikasi adalah masalah kronis yang menyebabkan inefisiensi dan pemborosan anggaran yang masif. Seharusnya ada satu portal data kemiskinan nasional yang terintegrasi, yang bisa digunakan oleh semua lembaga, bukan masing-masing membuat sistem sendiri-sendiri,” jelasnya.
Memutus Rantai Birokrasi, Menyalurkan Bantuan Tepat Sasaran
Terungkapnya ketiga alokasi janggal ini adalah sebuah puncak gunung es dari masalah yang lebih dalam: anggaran kemiskinan seringkali diperlakukan seperti anggaran program biasa yang fokusnya adalah “penyerapan anggaran”, bukan “dampak bagi masyarakat”. Sudah saatnya ada sebuah reformasi total dalam cara pandang dan pengelolaan dana ini. Anggaran untuk orang miskin harus menjadi dana sakral yang alurnya dipangkas seefisien mungkin agar bisa sampai secara utuh dan tepat sasaran kepada mereka yang paling berhak menerimanya.
Bukan hanya skandal anggaran kemiskinan, masih ada skandal lain! Baca di – SKANDAL ANGGARAN! DPRD Jabar Hamburkan Rp 1.7 Miliar Hanya untuk Baju Dinas Baru, Warga Meradang!

