Sebuah kasus yang memilukan kini tengah bergulir di meja hijau, menyoroti dilema pelik antara upaya penegakan disiplin sekolah dan jerat hukum yang mengancam profesi guru. Akbar Sarosa, seorang guru honorer mata pelajaran agama, kini berstatus terdakwa di Pengadilan Negeri Sumbawa, setelah dilaporkan oleh orang tua siswa. Ia didakwa atas tindakannya memberikan hukuman kepada salah satu siswa yang bandel dan tidak mengikuti salat berjamaah.
Insiden Disipliner di SMKN 1 Taliwang
Kejadian yang membawa Akbar ke kursi pesakitan ini terjadi di salah satu SMK Negeri, yaitu SMKN 1 Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Menurut informasi yang dihimpun, salat berjamaah sendiri telah ditetapkan sebagai salah satu program wajib di sekolah tempat Akbar mengajar. Hal ini mengindikasikan bahwa tindakan Akbar bukanlah hukuman yang semena-mena, melainkan upaya untuk mendisiplinkan siswa agar patuh pada peraturan dan program yang telah disepakati sekolah.
Namun, tindakan disipliner yang diberikan Akbar kepada siswa yang tidak mengikuti salat berjamaah tersebut justru berujung pada laporan hukum dari orang tua siswa, mengubah status Akbar dari seorang pendidik menjadi terdakwa. Kasus ini memicu perdebatan luas mengenai batasan antara tindakan mendidik dan potensi tindak kekerasan, serta perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugasnya.
Seruan Pembebasan dari Komite Sekolah dan Organisasi Guru
Melihat kondisi yang menimpa Akbar, berbagai pihak menunjukkan dukungan dan keprihatinannya. Mustakim, Ketua Komite sekolah SMKN 1 Taliwang, secara terbuka meminta majelis hakim agar membebaskan Akbar Sarosa dari segala tuntutan hukum. Dalam pernyataannya yang penuh harapan, Mustakim menekankan niat di balik tindakan Akbar.
“Tindakan Akbar untuk mendisiplinkan siswanya agar patuh pada program sekolah. Lagipula pukulannya tidak berakibat cidera berat atau cacat permanen. Karena itu, kami mohon kepada mejelis hakim sebagai benteng terakhir keadilan melihat kasus ini dengan mata hati. Kami mohon Akbar Sarosa diberi kebebasan,ā pinta Mustakim, menyampaikan permohonan yang menyentuh nurani hakim. Permohonan ini menyoroti bahwa hukuman yang diberikan tidak menyebabkan cedera serius, dan motivasi guru adalah untuk mendisiplinkan, bukan menganiaya.
Baca juga :Ā Bongkar Skandal PT Energi Negeri Mandiri! Ada Jaminan Palsu dan Proyek Siluman
Selain komite sekolah, dua organisasi guru terbesar di Indonesia juga turut menyuarakan dukungan. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Asosiasi Guru Agama Islam Indonesia (AGAII) menyampaikan pernyataan sikap resmi kepada Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa. Pernyataan sikap itu berisi tiga tuntutan utama yang tegas:
- Membebaskan Akbar Sarosa dari semua tuntutan hukum.
- Memberi perlindungan hukum yang kuat bagi profesi guru dalam menjalankan tugas mendidik.
- Menolak semua bentuk kriminalisasi pada profesi guru.
Tuntutan ini merefleksikan kekhawatiran yang lebih luas di kalangan pendidik mengenai risiko hukum yang mereka hadapi saat menerapkan disiplin di sekolah.
Dilema Disiplin dan Perlindungan Guru di Tengah UU Perlindungan Anak
Kasus Akbar Sarosa ini menyoroti dilema kompleks dalam dunia pendidikan modern. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga disiplin dan menegakkan aturan sekolah demi terciptanya lingkungan belajar yang kondusif. Di sisi lain, ada Undang-Undang Perlindungan Anak yang bertujuan melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk yang dilakukan di lingkungan sekolah.
Garis batas antara “hukuman yang mendidik” dan “penganiayaan” seringkali sangat tipis dan bisa menjadi abu-abu dalam interpretasi hukum. Banyak guru merasa berada dalam posisi sulit, takut untuk memberikan hukuman fisik sekecil apapun karena khawatir akan dilaporkan orang tua siswa dan berujung pada kriminalisasi. Hal ini dapat berdampak pada menurunnya wibawa guru dan kesulitan dalam menegakkan disiplin.
Organisasi guru mendesak agar ada payung hukum yang lebih jelas dan perlindungan yang memadai bagi guru, sehingga mereka dapat menjalankan tugas mendidik tanpa rasa takut akan kriminalisasi, selama tindakan mereka masih dalam koridor profesionalisme dan tidak membahayakan siswa. Diskusi publik tentang bentuk-bentuk disiplin positif yang efektif dan non-kekerasan juga perlu terus digalakkan.
Kasus Akbar Sarosa kini berada di tangan majelis hakim sebagai “benteng terakhir keadilan”. Harapan semua pihak adalah agar putusan yang diambil nanti dapat mencerminkan keadilan, mempertimbangkan niat mendidik, dan memberikan kepastian hukum bagi profesi guru di Indonesia. Ini adalah kasus yang akan menjadi preseden penting bagi masa depan hubungan antara guru, siswa, dan hukum.
Baca juga :Ā Pria Diduga ODGJ Babak Belur Usai Begal Payudara di Bandung