Di tengah gejolak harga beras yang terus merangkak naik dan ancaman El Nino yang melanda berbagai negara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyuarakan imbauan penting kepada masyarakat Indonesia: untuk tidak lagi hanya bergantung pada beras sebagai bahan pokok utama. Menurutnya, ada banyak alternatif pangan lokal yang tak kalah lezat dan bahkan lebih menyehatkan, seperti ubi jalar dan sorgum. Seruan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
Seruan Diversifikasi Pangan dari Menteri Tito Karnavian
Pernyataan Menteri Tito Karnavian ini disampaikan dalam sebuah kesempatan, seperti yang diberitakan oleh Kompas.com pada 3 Oktober 2023. Beliau dengan lugas menyarankan agar masyarakat tidak hanya terpaku pada beras. “Itu semua enak-enak itu. Ada ubi jalar, ada sorgum, ada sukun, banyak sekali yang bisa menjadi bahan pokok,” terang Tito, menunjukkan kekayaan sumber pangan lokal yang dimiliki Indonesia.
Lebih dari sekadar variasi rasa, Tito juga menyoroti aspek kesehatan dari diversifikasi pangan ini. Menurutnya, nasi dari beras memiliki potensi untuk menaikkan gula darah dan memicu diabetes jika dikonsumsi berlebihan. Sebaliknya, ubi-ubian atau sorgum menjadi opsi yang sangat baik karena menyehatkan, seringkali memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dan kaya akan serat, yang baik untuk pencernaan dan mengontrol kadar gula darah.
Lonjakan Harga Beras dan Rekor Kenaikan Sejak 2018
Imbauan diversifikasi pangan ini datang di tengah situasi harga beras yang cukup mengkhawatirkan. Dikutip dari Kompas.com, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras di level eceran menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 5,61 persen secara bulanan pada September lalu. Angka ini bukan sekadar kenaikan biasa, melainkan menjadi kenaikan tertinggi sejak Februari 2018, mengindikasikan tekanan inflasi yang cukup kuat pada komoditas pangan utama ini.
Analisis lebih lanjut dari BPS juga menunjukkan bahwa rata-rata harga beras di tingkat penggilingan pada September 2023 mencapai Rp 13.799 per kilogram, atau naik 10,33 persen secara bulanan. Jika dibandingkan secara tahunan, kenaikannya bahkan mencapai 27,43 persen. Sementara itu, di tingkat grosir, rata-rata harga beras tercatat Rp 13.037 per kilogram, naik 6,29 persen secara bulanan dan 21,02 persen secara tahunan. Data-data ini mengonfirmasi adanya tren kenaikan harga beras yang substansial di berbagai lini pasok.
Baca juga :Ā Dapat Bantuan Usaha dari Dinas Koperasi Bandung 2025? Ini Cara Resminya
Faktor Global: El Nino dan Kebijakan Ekspor Negara Lain
Kenaikan harga beras ini tidak hanya disebabkan oleh faktor domestik, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh dinamika global. Menteri Tito Karnavian menjelaskan, banyak negara lain di dunia juga menghadapi tantangan serupa atau bahkan lebih berat. “Ini semua negara juga kan banyak yang mereka kena El Nino juga, kekeringan juga, India misalnya, lebih panas dari kita. Banyak kemudian yang tadinya mengekspor, menahan produksinya untuk dalam negerinya, semua negara sedang berjuang,” ucap Tito.
Fenomena iklim El Nino telah menyebabkan kekeringan ekstrem di berbagai belahan dunia, berdampak pada penurunan produksi pertanian, termasuk beras. Akibatnya, negara-negara produsen beras besar yang biasanya melakukan ekspor, kini cenderung menahan produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka sendiri. Kebijakan protektif ini menyebabkan pasokan beras di pasar internasional berkurang, yang secara otomatis mendorong harga naik dan menekan negara-negara pengimpor seperti Indonesia.
Urgensi Diversifikasi Pangan untuk Ketahanan Nasional
Dalam konteks tantangan global dan domestik ini, diversifikasi pangan yang disuarakan oleh Menteri Tito Karnavian menjadi sangat urgen.
- Ketahanan Pangan Nasional: Mengurangi ketergantungan pada satu jenis bahan pokok akan membuat bangsa lebih tangguh menghadapi gejolak pasokan, dampak perubahan iklim, dan fluktuasi harga komoditas.
- Gizi Berimbang: Mendorong konsumsi pangan lokal alternatif dapat meningkatkan variasi nutrisi dan memperbaiki pola gizi masyarakat secara keseluruhan. Ubi, jagung, dan sorgum memiliki kandungan gizi unik yang tidak selalu ada pada beras.
- Resiliensi Pertanian: Diversifikasi juga mendorong petani untuk menanam beragam jenis komoditas, mengurangi risiko gagal panen total jika satu jenis tanaman terdampak bencana alam atau hama.
- Pemanfaatan Potensi Lokal: Indonesia kaya akan sumber daya pangan lokal yang belum sepenuhnya termanfaatkan. Mengembangkan dan mempopulerkan kembali bahan pangan tradisional akan memberdayakan petani lokal dan ekonomi daerah.
Pemerintah, melalui berbagai kementerian terkait, diharapkan tidak hanya mengimbau tetapi juga mengimplementasikan program-program konkret untuk mendorong diversifikasi pangan, mulai dari riset dan pengembangan varietas unggul, edukasi masyarakat, hingga insentif bagi petani. Perubahan pola konsumsi ini memang membutuhkan waktu dan upaya sosialisasi yang masif, namun ini adalah investasi krusial untuk masa depan ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat Indonesia.
Baca juga :Ā Cara Kelola Stok Usaha Kecil Bandung Biar Gak Rugi!Ā